Selasa, 05 Juni 2012

Strategi Membangun Kepercayaan Diri



Kalau mereka bisa melakukannya, mengapa kita berkata tidak bisa?
Kegiatan membangun fisik mudah dilakukan. Kita cukup mengumpulkan bahan dan menatanya sesuai dengan gambar. Maka, jadilah bangunan itu. Namun, kemudahan itu tidak dapat ditemukan untuk membangun nonfisik, seperti membangun kepercayaan diri. Begitu sulitnya membangunnya. Oleh karena itu, aku akan berbagi strategi membangun kepercayaan diri.
Menurutku, ada tiga strategi untuk membangun kepercayaan diri. Ketiga strategi itu adalah menumbuhkan rasa mampu, memiliki hutang kesanggupan, dan konsisten menjaga sikap. Mari kita kupas ketiganya.
Strategi 1: Menumbuhkan Rasa Mampu
Kita sering menghakimi diri sebelum memulai sesuatu. Penghakiman itu menyebabkan keputusasaan. Apa bentuk penghakiman itu? Yakni tidak bisa. Kita sering berucap dua kata. Setiap ada kesempatan, kita selalu menyia-nyiakannya seraya berkata, “Wah, aku nggak bisa, nih.” Karena sudah berpikiran negatif demikian, wajarlah kita tidak bisa karena kita memang menghendaki ketidakbisaan.
Tuhan itu Maha Adil dan Maha Pemurah. Semua manusia normal diberi “fasilitas” yang sama. Fasilitas yang melekat tubuh: hidung satu dengan dua lobang, mulut satu, dua mata, dua kaki, dua tangan satu jantung, dua ginjal, dua paru-paru dan lain-lain. Fasilitas yang tidak melekat tubuh: waktu 24 jam, 7 hari seminggu, 30 hari sebulan, 365 hari setahun. Namun, kita tidak mampu menghasilkan produk yang sama untuk setiap manusia. Mengapa? Karena kita telah menghakimi diri dengan berkata, “Wah, saya tidak mungkin bisa mengerjakan itu.”
Oleh karena itu, kita harus menumbuhkan semangat kebisaan. Kita harus mempunyai kemampuan untuk menjawab setiap keraguan. Jika mereka bisa melakukannya, mengapa saya tidak? Semangat itu harus tumbuh, berkembang, dan terus menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita mempunyai keyakinan bahwa kita mampu melakukan sesuatu, tentu Tuhan tidak akan berdiam. Tuhan pasti menjawab semangat itu seraya memberi jalan.
Strategi 2: Memiliki Hutang Kesanggupan
Pada umumnya, kreativitas manusia akan muncul ketika ia berada dalam kesempitan. Maksudnya, otak dan pikiran manusia akan menjadi semakin terasah jika berhadapan dengan masalah yang menuntut kecekatan dan kecepatan bertindak. Jika manusia sudah berpikir positif dengan kondisi tersebut, biasanya keputusannya pun tepat!
Untuk menjadi pribadi yang berkemampuan untuk cekatan berpikir, cepat bertindak, dan tepat menentukan, manusia perlu mempunyai hutang kesanggupan. Maksudnya, manusia perlu mempunyai janji. Mengapa manusia perlu mempunyai janji? Karena janji akan menghasilkan kreativitas. Janji dapat dilakukan untuk dirinya, orang lain, atau tugas lain. Janji itu harus menjadi hutang yang harus dibayar. Selanjutnya, manusia harus mempunyai komitmen tinggi untuk menepati janji tersebut. Pada saat seperti itulah, kepecayaan diri itu tumbuh, berkembang, dan melekat menjadi satu dalam dirinya.
Strategi 3: Konsisten Menjaga Sikap
Kita sering mendengar bahwa lebih mudah mendapatkan daripada menjaganya. Maksudnya, kita mudah dan bermurah hati ketika ingin mendapatkan sesuatu. Namun, kita kurang peduli dengan raihan itu. Lalu, sesuatu yang diraih dengan susah payah itu menjadi mubadzir karena kita menyia-nyiakannya. Dan itu adalah budaya yang sangat tercela.
Berkenaan dengan itu, kita harus menjaga konsistensi dalam bersikap. Maksudnya, kita harus menjaga semangat untuk tetap berkobar seperti semangat kita ketika akan mendapatkannya. Jika kita mempunyai semangat membaja untuk mendapatkannya, kita pun harus mempunyai semangat baja untuk mempertahankannya. Semangat itu tidak boleh kendor. Bahkan, semangat itu harus menjadi semakin kuat. Mengapa? Karena banyak orang  berkeinginan untuk menjadi pesaing kita agar ia mendapatkan seperti yang kita dapatkan. Jadi, jagalah konsistensi bersikap!
Pada awalnya, aku menjadi mahasiswa katrok alias ndeso. Dari Sragen kuliah ke Yogyakarta pada 1991. Aku mulai berani tampil di muka umum ketika menjadi peserta demo. Lalu, lambat tapi pasti, aku mulai menekuni pers kampus. Ketika aku merasa berkemampuan untuk berbicara dan menulis, dari sanalah rasa percaya diri itu tumbuh. Tak disangka, aku sering diminta untuk memimpin demonstrasi, mewawancarai pejabat, atau bepergian ke tempat asing. Akhirnya, tiada rasa grogi sedikitpun ketika harus berhadapan dan berbicara di depan banyak orang, termasuk di depan menteri atau presiden sekalipun!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar